![]() |
Unjuk Rasa para petani tembakau menolak pengesahan RPP Tembakau (Istimewa @2012) |
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Sikap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian
Keuangan yang mengedepankan pandangan Kementerian Kesehatan terkait
rencana kenaikan cukai pada industri hasil tembakau (IHT) dinilai
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA),
Yustinus Prastowo berlebihan.
Sebab menurut dia, cukai IHT tidak
bisa semata mengedepankan perspektif kesehatan. Justru seharusnya
pandangan industri yang harus jadi acuan utama karena merupakan subjek
pajak dan cukai yang akan ditarik pemerintah.
Yustinus menilai,
kontribusi IHT dari sebatang rokok sudah sangat besar,meliputi 57 persen
cukai, 10 persen PPN, dan 10 persen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
atau PDRD, sehingga total kontribusi cukai dan pajak rokok mencapai 77
persen.
“Kalau paradigma kesehatan dikedepankan, kemudian
membatasi konsumsi, ketika pengawasan buruk maka justru akan
memperbanyak rokok ilegal,” kata Yustinus, saat dihubungi wartawan,
Senin (13/6).
Belum lagi, kata dia, ketika pemerintah tidak bisa
menyiapkan konversi tenaga kerja dari IHT yang besar ke industri lain.
“Ini juga bermasalah,” ucap dia.
Yustinus juga mempertanyakan
penggunaan dana yang didapat dari pajak rokok untuk alokasi
kesehatanyang tidak akuntabel. “Apakah selama ini penerimaan sudah
dialokasikan dengan baik? Dan tidak akuntabel juga,” kata dia.
Ia
menilai, jangan sampai pemerintah berparadigma membebani industri
tembakau dengan tarif cukai tinggi tapi tanpa bisa mengelola dana-dana
pajak dan cukai tembakau. Sehingga justru tidak bermanfaat sama sekali.
Menurut dia, roadmap
pemerintah di sektor kesehatan dan penerimaan negara juga cenderung
tidak jelas sehingga yang terjadi industri tembakau lagi-lagi menjadi
korban. Harus ada kebijakan komprehensif yang beriringan, melindungi
IHT, tenaga kerja, sekaligus mengamankan penerimaan negara dari cukai.
“Sekarang
ini selalu tarik menarik antar kementerian sehingga industri menjadi
korban, dan ujungnya masyarakat juga yang jadi korban,” ucap dia.
Pengamat
ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Salamuddin Daeng, menilai DJBC tidak perlu menunggu sikap Kemenkes soal
cukai. Sebaiknya, Presiden meminta Kemenkes fokus mengurus
masalah-masalah kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan akses
kesehatan yang timpang tak adil.
Daeng mencontohkan, sikap
Kemenkes terkait RUU Tembakau sangat aneh karena beleid itu soal
agrikultur, perlindungan tanaman, dan tidak berkaitan dengan urusan
kesehatan. “Agak kacau juga sikap Kemenkes. Tumpang tindih, terkesan
menterinya tidak paham,” kata dia menegaskan. (Adm)
Sumber, Republika.co.id