Berita  

Tolak Ukur Cinta Dengan Pengorbanan Materi? ….

SriwijayaAktual.com – Sebagian orang memandang bahwa pengorbanan materi
adalah bukti cinta paling terukur. Dengan cara pandang ini, mereka
merasa berada di jalan yang benar ketika menuntut calon suami untuk
menggelar pesta besar atas nama marwah dan penghargaan kepada perempuan,
selain meminta mahar yang fantastis.

Jika materi saja tidak mau berkorban, bagaimana dengan yang lain?
Ungkapan ini kerap menjadi argumen bagi orang yang berpandangan bahwa
keperkasaan pria terletak pada sejauh mana dia mau memenuhi tuntutan
pihak wanita dari sisi finansial.
Pengorbanan material dinilai sebagai indikator paling terukur
untuk melihat kesiapan dan keseriusan seorang pria dalam pernikahan.
Cinta, perhatian, kesalehan, kapasitas otak adalah parameter abstrak
yang menurut mereka mudah dimanipulasi.
Pandangan demikian masih banyak bergelayut di benak keluarga yang
memiliki anak perempuan. Tampak benar apa yang pernah diungkapkan oleh
peraih hadiah Nobel  Ekonomi (1998) Amartya Sen bahwa dalam perkawinan
ada konflik serta transaksi terselubung. Namun, secara lebih vulgar,
pandangan di atas justru cenderung menjadikan pernikahan sebagai
transaksi terbuka—jika melihat penawaran mahar, seserahan dan biaya
pesta.
Jika masyarakat dalam sebuah budaya sudah menjadikan hal ini
sebagi ideologi, tidak perlu muluk-muluk untuk berniat mengubahnya dalam
waktu sesingkat umur jagung. Jalan satu-satunya adalah kompromi atau
mundur. Pemuda yang terseok-seoksecara material jauh-jauh hari harus
sadar bahwa cinta tak melulu soal perasaan, ada ukurannya seperti Badan
Pusat Statistik menilai tingkat kemiskinan akut.
Tidak sedikit kasus yang terjadi di masyarakat kita ketika
seorang pemuda harus patah hati karena gagal memenuhi standar dari
keluarga istri, terutama terkait serba-serbi asesoris pernikahan: mulai
dari prosesi lamaran hingga tetek-bengek pascaakad nikah.
Bapak bangsa India Mahatma Gandhi (1869-1948) mengatakan, “Setiap
pemuda, yang meminta mahar sebagai syarat pernikahan, telah menistakan
pendidikan dan negaranya serta merendahkan perempuan.” Gandhi
mengingatkan para pemuda karena, di negeri Kuch Kuch Hota Hai itu, yang memberi mahar adalah pihak perempuan.
Bagaimana jika subjek pada ungkapan Gandhi tersebut diganti
dengan pemudi sehingga berbunyi ”Setiap gadis, yang meminta mahar
(besar) sebagai syarat pernikahan, telah menistakan pendidikan dan
negaranya serta merendahkan kaum pria”—untuk menyesuaikan dengan konteks
Indonesia. Jika ini berterima, para jomblo yang masih tinggal di rumah
kos atau numpang di rumah orang tua pasti bersorak-sorai kegirangan.
Baca Juga Ini; Mirip Transaksi Bisnis Jual Beli, Redaksi Ijab Kabul Perlu Diperbaharui …
Mengukur keseriusan menikah lewat besaran mahar sama seperi
mengukur keseriusan calon pelajar dengan keberanian untuk membayar SPP
yang mahalnya mencekik. Bagaimanapun, mahar yang besar, terutama hanya
sebagai kamuflase untuk memenuhi kebutuhan gengsi dan narsisme dengan
mengelar pesta mewah, bukan tolok ukur ideal keseriusan seorang lelaki
untuk menikah.
Pepatah Latin kuno mengatakan, “Mas kawin yang besar adalah tempat tidur penuh semak berduri.
Penelitian berjudul “A Diamond is Forever and Other Fairy Tales:
The Relationship between Wedding Expenses and Marriage Duration” oleh
Andrew M. Francis dan Hugo M. Mialon pada 2014 mengungkap fakta bahwa
pernikahan dengan biaya mahal justru meningkatkan resiko perceraian. (rima)