Berita  

Wacana Pemakzulan Vs Isu Kudeta

Jokowi lengser

Wacana Pemakzulan Vs Isu Kudeta


Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM *)

Oposisi dan koalisi saling bersahutan.

KOLOM PEMBACA, Sriwijaya Aktual – Setelah pemakzulan diwacanakan pihak oposisi, kini giliran pihak koalisi menyebut ada yang mau kudeta.

Habis pemakzulan, terbitlah isu kudeta.

Wacana pemakzulan presiden di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 digulirkan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta melalui diskusi virtual yang kemudian batal karena ada dugaan teror, Jumat (29/5/2020).

Gayung bersambut, wacana pemakzulan presiden berlanjut di Jakarta dalam diskusi virtual yang menampilkan Din Syamsuddin, Ketua Dewan Kehormatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Senin (1/6/2020).

Pemberhentian, pemakzulan atau  “impeachment” presiden ini dikonotasikan sebagai suara oposisi pemerintah. Suara ini memang digaungkan oleh elite-elite yang selama ini berseberangan dengan pemerintah.

Boni Hargens, dosen Universitas Indonesia (UI), yang pada Pemilihan Presiden 2019 lalu menjadi relawan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, merespons wacana pemakzulan presiden tersebut dengan melemparkan isu kudeta (coup d’etat) yang sudah dirancang pihak oposisi, bahkan sudah ada nama-nama yang ia kantongi.

Respons Boni Hargens ini dikonotasikan sebagai suara pemerintah yang didukung partai-partai koalisi, atau disebut koalisi. Hasilnya: kegaduhan politik yang tak berkesudahan!

Sesungguhnya membicarakan pemakzulan presiden itu tidak diharamkan, atau tidak boleh dianggap inkonstitusional, karena hal itu diatur di dalam konstitusi, yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, syarat untuk melakukan pemakzulan presiden sungguh sangat berat.

Baca: Jokowi dan Menkominfo Diputus Bersalah Blokir Internet di Papua, Tapi Tidak Disuruh Minta Maaf

Baca: Kronologi dan Fakta-Fakta Kasus Pria Potong Kelamin di Kamar Mandi Kos

Baca: Jumlah Pasien Sembuh COVID-19 Hari Ini Cukup Menggembirakan

Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Akan tetapi, dari sisi etika dan kepatutan bagaimana?

Patutkah di tengah pandemi Covid-19 ini kita membicarakan pemakzulan presiden yang tentu akan dapat memecah belah bangsa?

Bila diandaikan semua pemilih Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin yang berjumlah 54,5% membela Jokowi, dan 44,5% pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendukung pemakzulan Jokowi, maka 54,5% rakyat yang merupakan pemilih Jokowi-Ma’ruf akan berhadapan dengan 44,5% rakyat yang merupakan pemilih Prabowo-Sandi.

Ini bisa memicu konflik horisontal.

Bukankah di masa pandemi ini yang dibutuhkan justru persatuan nasional, soliditas bangsa untuk bersatu melawan corona sebagai “common enemy” atau musuh bersama?

Jadi, pembahasan soal pemakzulan itu “timing”-nya kurang tepat meskipun secara yuridis dikatakan konstitusional.

“Bener nanging kurang pener” (benar tapi kurang tepat). “Ngono ya ngono, nanging ojo ngono” (jangan keterlaluan).

Di pihak lain, mengingat syarat pemakzulan presiden itu sangat berat, maka pihak koalisi mestinya tak perlu galau,  risau, apalagi kebakaran jenggot. Santai saja!

Pun, tak perlu menuduh pihak oposisi mau melancarkan kudeta atau mengambil

alih kekuasaan secara paksa.

Apalagi indikator ke arah sana belum terang-benderang.

Bila yang dimaksud Boni Hargens adalah kudeta militer, maka sinyalemen tersebut salah besar.

Saat ini TNI dan Polri solid mendukung kepemimpinan Presiden Jokowi-Wapres Ma’ruf. Apalagi militer Indonesia tidak punya sejarah melakukan kudeta.

Bila yang dimaksud Boni Hargens adalah menurunkan Presiden Jokowi di tengah masa jabatan, sebagaimana Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk digantikan Wapres Megawati Soekarnoputri pada 23 Juli 2001, maka sinyalemen tersebut juga salah besar.

Saat itu parpol-parpol di DPR RI sudah tidak mendukung Gus Dur, terutama PDIP sebagai parpol terbesar.

Yang masih solid mendukung Gur Dur hanyalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

TNI dan Polri juga tidak solid mendukung Gus Dur, bahkan Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro menolak melaksanakan Dekrit Presiden tentang Pembubaran DPR RI tanggal 20 Juli 2001.

Maka Gus Dur bisa dilengserkan. Itu pun secara konstitusional melalui Sidang Istimewa MPR RI, bukan inkonstitusional melalui kudeta.

Bagaimana kini?

Mayoritas parpol di DPR RI masih solid mendukung Jokowi, kecuali yang memang sejak awal beroposisi seperti Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Sementara Partai Demokrat di tengah-tengah, mengambil posisi sebagai penyeimbang.

Bila dikalkulasi kekuatan politik di Senayan, jumlah kursi pihak koalisi lebih unggul daripada pihak oposisi. Jadi, secara politik posisi Presiden Jokowi masih cukup aman.

Dalam kondisi demikian, Presiden Jokowi hanya bisa dijatuhkan melalui kekuatan massa, yang akhirnya memaksa Presiden mundur,  sebagaimana Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Inilah yang mungkin dikhawatirkan pihak koalisi. Sebab, kondisi ekonomi dan sosial yang dipicu pandemi Covid-19 memang cukup mengkhawatirkan.

Sudah lebih dari 2 juta pekerja kehilangan pekerjaannya akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan.

Bila wabah Covid-19 ini terus berlanjut maka diprediksi 7 juta pekerja akan kehilangan pekerjaannya.

Rakyat banyak yang jatuh miskin. Yang sudah miskin bertambah miskin. Makanya bila ada pembagian bantuan sosial (bansos), rakyat berjubel, mengabaikan protokol kesehatan Covid-19.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia, termasuk Amerika yang katanya super power.
Bila rakyat yang dalam kondisi lapar diprovokasi elite politik, maka mereka ibarat rumput kering yang mudah terbakar.
Manuver elite politik bisa menjadi api yang menyulut rumput kering itu.
Bila benar Boni Hargens sudah mengantongi nama-nama elite yang akan melakukan kudeta, mungkin dengan memprovokasi rakyat, sebaiknya nama-nama itu dibuka ke publik, minimal dilaporkan ke Polri, sehingga bisa dicegah atau dilakukan tindakan oleh pihak berwenang.
Di sisi lain, dengan melempar nama-nama itu ke publik, berarti Boni bertanggung jawab dengan ucapannya sendiri, tidak sekadar melempar isu yang hanya memicu kegaduhan.
Bila nama-nama tersebut tidak merasa sedang merancang kudeta, maka mereka bisa menggugat Boni secara hukum.
Dari kacamata ini, sinyalemen Boni itu tak bisa dianggap main-main.
Bisa jadi sedang ada yang merancang terjadinya kerusuhan sosial.
Namun bukan kudeta militer atau sipil, melainkan pengerahan massa meski tujuannya sama: melengserkan Presiden!
Berkelindan dengan seruan pemakzulan dari kampus-kampus, gambaran akan terjadinya pelengseran presiden pun kian mencekam.
Namun, kiranya hal tersebut tidak terjadi. Semoga!
*) Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Spesial Untuk Mu :  Setiap Hari, Air Laut 3 Kali Minta Sama Allah SWT Untuk Menghabiskan Manusia