“Buzzer ada yang biasa saja, tapi ada yang keterlaluan dengan pernyataan pernyataannya. Harus dikasih tahu. Kalau enggak dikasih tahu, enggak mungkin buzzer atau influencer akan bergerak kalau dihambat,” kata dia dalam diskusi ‘Teror dalam Ruang Demokrasi’, Rabu (3/6/2020).
Menurut dia, harusnya Jokowi bisa mengevaluasi media sosial melalui Kominfo soal peretasan akun akun pengkritik pemerintah. Namun, Asfinawati melihat Jokowi seperti tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut.
“Ada yang namanya unwiling, dan unable. Kalau itu namanya bukan unable, bukan tidak mampu, itu tidak mau,” ucapnya.
Sementara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian menyebut, buzzer adalah hal yang wajar di negara demokrasi. Menurutnya, setiap kekuasaan memiliki buzzer yang membela.
“Ini fitrah demokrasi, artinya begitu kekuasaan ada yang menggugat pasti ada yang berkelompok untuk membelanya, Presiden setelah Pak Jokowi juga akan begitu tidak akan ada kekuasaan yang tidak memiliki buzzer itu,” kata Donny.
Tetapi, kata dia, para buzzer tersebut tidak dikoordinasikan atau dinstruksikan resmi oleh kekuasaan. Tinggal bagaimana pemerintah mengelola dinamika agar di media sosial tidak menjadi saling serang.
“Tidak ada kekuasaan yang buzzless, tinggal bagaimana kita mengelola dinamika di sosial media supaya yang terjadi bukan saling serang yang mengarah kepada hoaks fitnah dan kekerasan verbal,” tutur Donny. (*)